Hari ini, linimasa penuh dengan ucapan selamat disertai foto orang-orang berjejer, jas hitam rapi dikenakan. Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang baru telah resmi dilantik. Sebagai sesama insan perpustakaan, tidak lupa ucapan selamat disampaikan. Namun, setelah ikrar diucapkan, tepuk tangan mereda dan gedung kembali sepi, satu pertanyaan besar menggantung di udara: Are we really moving forward?
Tulisan ini bukan untuk merusak suasana pesta, melainkan sebuah harapan dari kami, untuk mereka yang baru saja duduk di kursi kepengurusan.
Kami paham, kursi kepengurusan tak menjanjikan kemewahan, sehingga memaksa dan menuntut bukanlah hak kami.

Jebakan Seremonial dan Birokrasi
Kritik terbesar bagi organisasi profesi kita selama ini adalah kecenderungannya untuk terjebak dalam rutinitas birokratis. Sering kali terlalu sibuk hanya dengan seminar-seminar, konferensi-konferensi, rapat kerja, dan urusan administratif, hingga lupa pada esensi utama organisasi profesi, advokasi dan perlindungan profesi.
Selama bertahun-tahun, pustakawan di Indonesia masih saja dipandang sebelah mata. Di banyak instansi daerah, posisi pustakawan masih dianggap sebagai tempat buangan. Pertanyaan yang muncul adalah apa yang sudah dilakukan organisasi profesi ini untuk melindungi anggotanya?
Jika pengurus baru ini hanya meneruskan tradisi “yang penting program kerja jalan”, “yang penting nama terpampang”, tanpa ada gebrakan-gebrakan politis untuk menaikkan bargaining power pustakawan, maka pelantikan hari ini hanyalah formalitas yang berubah kulit dan wajahnya.
Tapi memang sih, pada akhirnya, harus diakui bahwa formalitas adalah juru selamat paripurna, buat apa membuat program kerja yang radikal kalau hanya akan menimbulkan gesekan? Lebih baik fokus pada pelantikan, rapat kerja di hotel, makan-makan dan foto bersama, bukan?
Berhenti Menjadi Event Organizer
Jika mau melihat sedikit ke belakang, bisa jadi tanpa sadar, organisasi ini perlahan bergeser dari fungsi hakiki sebagai organisasi profesi menjadi sekadar penyelenggara acara.
Mentalitas EO ini terlihat dari tolok ukur keberhasilan yang sering digunakan. Keberhasilan sebuah kepengurusan diukur dari seberapa banyak seminar nasional yang digelar, seberapa megah panggung pelantikan, atau seberapa sering kita mengadakan rapat kerja.
Lagian, jika IPI masih berkutat pada isu-isu konvensional dan gagal membawa narasi kekinian, sudah pasti organisasi profesi ini akan semakin jauh tertinggal.
Bahkan di masa mendatang, kesejahteraan pustakawan sejatinya tak perlu lagi dibahas, bukan karena tidak penting tetapi karena masalah sudah terselesaikan.
Saya pernah menulis tulisan tak bermutu juga di tahun 2023, tentang sistem keanggotaan IPI vs IPI, Ikatan Pustakawan Indonesia vs Ikatan Pemulung Indonesia. Tulisannya bisa dibaca di sini.
Tapi memang sih, kita semua diam-diam sepakat bahwa dinginnya AC hotel bintang empat atau lima adalah solusi paling instan untuk mendinginkan panasnya tuntutan profesi, bukan?
Ultimatum Harapan
Kami paham, kursi kepengurusan tak menjanjikan kemewahan, sehingga memaksa dan menuntut bukanlah hak kami. Namun, ini bukan sekadar soal upah, melainkan amanah, tempat kami menggantungkan harapan agar tak kehilangan arah.
Komposisi tulisan ini mungkin mengandung pesimistis. Tapi percayalah, kritik adalah bentuk cinta yang paling jujur. Selamat bekerja. Sejarah mencatat tindakan, bukan sekadar ucapan.
Depok, 17 November 2025, selepas maghrib menjelang isya.

No Comment! Be the first one.