Distribusi e-book adalah monopoli penyedia aplikasi perpustakaan digital?

Beberapa orang menilai bahwa praktik penjualan e-book yang dilakukan oleh provider aplikasi perpustakaan digital di Indonesia merupakan praktik monopoli yang tidak sehat.

Faktanya, praktik tersebut menurut saya adalah praktik legal juga fair. Opini saya dalam artikel ini berdasarkan pengamatan setelah saya banyak berhubungan dengan banyak penerbit swasta.

Business to Business

Model bisnis yang populer dalam penjualan buku saat ini adalah model B to B, atau business to business, yang merupakan strategi penjualan produk tidak langsung ke konsumen.

Berbeda dengan model B to C atau business to consumer yang menjual langsung, model bisnis B to B menjual produk kepada distributor kemudian oleh distributor menjual kembali ke konsumen, atau penjualan yang dilakukan antar perusahaan sebelum dijual ke konsumen.

Dalam konteks distribusi e-book ke perpustakaan, secara sederhana diawali dari penerbit yang menjual melalui penyedia aplikasi perpustakaan digital (distributor), kemudian penyedia aplikasi perpustakaan digital (distributor) menjual ke perpustakaan.

Strategi provider/distributor adalah dengan memberikan secara gratis aplikasi perpustakaan digital mereka kepada perpustakaan, yang sebenarnya biaya produksi/pembuatan aplikasi akan ditutup dari komisi keuntungan penjualan buku dari penerbit.

Bahkan beberapa penerbit besar membuat aplikasi sendiri untuk mendistribusikan e-book terbitan mereka langsung ke konsumen, baik eceran maupun model langganan.

Orientasi Penerbitan

Oya, penerbit yang saya maksud bukan penerbit perguruan tinggi dan instansi pemerintah, penerbit perguruan tinggi bisa jadi sifat penerbitannya nonprofit, apalagi penerbit perguruan tinggi plat merah yang didukung pendanaan yang kontinu.

Penerbit yang saya maksud adalah penerbit swasta yang memang orientasinya untuk mendapatkan keuntungan.

Praktik penjualan e-book sama dengan penjualan buku cetak, gampangnya begini, satu eksemplar buku cetak harganya Rp100.000,- maka jika ingin membeli dua eksemplar buku cetak total yang harus dibayarkan adalah Rp100.000,- x 2 = Rp200.000.

Begitupun dengan e-book, karena e-book merupakan berkas digital (PDF, EPUB, MOBI, dll) yang dapat dengan mudah digandakan, tentu penerbit akan berusaha menjaga agar tetap mendapatkan pemasukan seperti halnya penjualan buku cetak, sehingga kecil kemungkinan penerbit rela membiarkan e-book yang mereka terbitkan dapat digandakan secara bebas dengan menjual langsung berkas digital e-book ke konsumen.

Kecuali e-book terbitan luar negeri yang biasa dijual ke perguruan tinggi, yang sepertinya memang sudah di-markup dengan banderol yang jauh lebih tinggi dibanding versi cetaknya.

Jadi tentu saja untung rugi adalah hal yang sangat diperhitungkan oleh penerbit.

Digital Right Management (DRM)

Kenapa penerbit mempercayakan penjualan e-book ke penyedia/distributor? DRM alasannya! Karena eh karena selain penyedia aplikasi perpustakaan digital mampu menjawab perhitungan untung rugi seperti yang saya hitungkan di atas, penyedia aplikasi perpustakaan digital juga mampu menjaga properti intelektual dengan baik.

Kemandirian Perpustakaan

Kemandirian perpustakaan yang lemah menjadi peluang bagi pihak lain untuk mendapat keuntungan (demand=supply), yang sebenarnya juga sah-sah saja menurut saya.

Jika tidak ingin bergantung dengan penyedia aplikasi soal pengadaan e-book maka perpustakaan harus mampu menjamin properti intelektual yang melekat pada e-book terjaga dengan baik, jika hal tersebut dapat dilakukan tentu penerbit (berpotensi besar) bersedia menjual secara langsung ke perpustakaan.

Kesimpulan

Praktik yang dilakukan oleh penyedia aplikasi perpustakaan digital menurut saya adalah sebuah terobosan dalam bisnis perbukuan. Selama perpustakaan tidak mempunyai daya tawar dan kemampuan untuk mengelola sendiri, maka kerja sama dengan pihak ketiga adalah sebuah alternatif.

Seorang blogger yang jarang menulis.